trying
to reach
the future
tag please or die

kikih says hi



Hello my name is Rizky Amelia, but peeps call me Kikih. Now I'm studying at The London School Of Public Relations, Jakarta. Majored in Mass Communication. Now I'm in semesters six. And this is a blog for all the tasks I have done while studying at LSPR.

click : Blog Twitter Facebook Myspace Plurk Tumblr
affiliates

Photobucket Aji Virna Photobucket Aliza Photobucket Anggita Photobucket Annisa Photobucket Baiti PhotobucketBakti PhotobucketDanar Photobucket Elvira Photobucket Fitri PhotobucketGleno Photobucket Intan Photobucket Maya
Photobucket Laura Photobucket Nadea Photobucket Nadya Photobucket Okti Photobucket Rita Photobucket Sally Photobucket Tasya Photobucket Yohana Photobucket Yossefina PhotobucketVicky
Monday, April 5, 2010 @ 10:41 AM
Cultural Anthropology - Kebudayaan Tana Toraja
Kata pengantar

Kebudayaan adalah hasil cipta, rasa, dan karya manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Setiap bangsa dan Negara pasti memiliki budayanya tersendiri. Karena budaya tersebut merupakan cirri khas dan adat yang menuntun bangsa dari Negara tersebut untuk menjalani kehidupannya. Negara yang beragam pun memiliki kebudayaan yang berbeda-beda. Negara yang satu dengan Negara yang lain tidak mungkin memiliki kebudayaan yang sama. Dan bahkan dalam satu Negara, kebudayaan yang dimiliki bangsanya dapat pula berbeda-beda. Seperti Negara Indonesia sendiri yang terdiri dari beberapa pulau dan etnis memiliki banyak kebudayaan didalamnya.
Salah satu kebudayaan yang dimiliki Negara Indonesia adalah kebudayaan yang berasal dari tana toraja . Kota ini memiliki banyak kebudayaan didalamnya dan juga suku serta adat yang beragam.
Makalah ini disusun untuk menunjang mata kuliah Cultura Anthropoloy. Makalah ini tentu masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,saya menerima dengan senang hati segala saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah ini di kemudian hari. Semoga makalah yang saya buat ini dapat menambah pengetahuan bagi kita semua.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penulisan Makalah
Peran budaya dalam kehidupan masyarakat sangatlah penting dan diperlukan. Manusia sendiri menciptakan budaya demi kesejahteraan kehidupannya. Kebudayaan Indonesia sangatlah beragam bentuknya. Hampir semua etnis daerah memiliki sistem budayanya sendiri. Termasuk tana toraja. Ada berbagai macam unsur kebudayaan yang terdapat di kota ini. Tetapi pertanyaannya apakah unsur tersebut bisa diterapkan dengan baik. Oleh karena itu saya menulis makalah ini agar bisa lebih mengetahui dan menganalisis penerapan unsur-unsur budaya tersebut di Kota Toraja.

1.2. Perumusan Masalah
Bagaimana penerapan unsur-unsur kebudayaan pada kebudayaan Tana Toraja?

1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1 Untuk mengetahui dan menganalisis unsur bahasa pada kebudayaan Toraja.
1.3.2 Untuk mengetahui dan menganalisis unsur sistem teknologi dan alat
produksi pada kebudayaan Toraja.
1.3.3 Untuk mengetahui dan menganalisis unsur sistem mata pencaharian pada
kebudayaan Tana Toraja.
1.3.4 Untuk mengetahui dan menganalisis unsur oganisasi sosial pada
kebudayaan Tana Toraja.
1.3.5 Untuk mengetahui dan menganalisis unsur sistem pengetahuan pada kebudayaan Maluku.
1.3.6 Untuk mengetahui dan menganalisis unsur sistem religi pada kebudayaan Maluku.
1.3.7 Untuk mengetahui dan menganalisis unsur kesenian pada kebudayaan Maluku.

BAB II
KERANGKA TEORITIS

2.1. Definisi Kebudayaan
2.1.1. Definisi secara etimologis
Kebudayaan dalam bahasa Inggris disebut culture. Kata tersebut sebenarnya berasal dari bahasa Latin = colere yang berarti pemeliharaan, pengolahan tanah menjadi tanah pertanian. Dalam arti kiasan kata itu diberi arti “pembentukan dan pemurnian jiwa”. Sedangkan kata budaya berasal dari bahasa Sansekerta yaitu kata buddayah. Kata buddayah berasal dari kata budhi atau akal. Manusia memiliki unsur-unsur potensi budaya yaitu pikiran (cipta), rasa dan kehendak (karsa). Hasil ketiga potensi budaya itulah yang disebut kebudayaan. Dengan kata lain kebudayaan adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
2.1.2. Definisi secara konseptual
Edward B. Taylor:
Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat oleh seseorang sebagai anggota masyarakat.
M. Jacobs dan B.J. Stern:
Kebudayaan mencakup keseluruhan yang meliputi bentuk teknologi social, ideologi, religi, dan kesenian serta benda, yang kesemuanya merupakan warisan social.
Koentjaraningrat:
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Dr. K. Kupper:
Kebudayaan merupakan sistem gagasan yang menjadi pedoman dan pengarah bagi manusia dalam bersikap dan berperilaku, baik secara individu maupun kelompok.
William H. Haviland:
Kebudayaan adalah seperangkat peraturan dan norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh para anggotanya akan melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat di terima oleh semua masyarakat.

2.1.3. Definisi secara operasional
Kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide gagasan dan sistem sosial yang terdapat di dalam pikiran manusia dan juga merupakan warisan sosial yang akan menjadi pedoman dan akan melahirkan perilaku baik secara individu maupun kelompok yang dipandang layak dan dapat diterima oleh semua masyarakat.

2.1.4. Instrumen variabel teori

Variabel Dimensi Indikator

K
E
B
U
D
A
Y
A
A
N
Sistem pengetahuan
• Eksakta
• Sosial
• Bahasa

Sistem sosial
• Interaksi
• Sosialisasi
• Komunikasi

Pedoman

• Nilai
• Norma
• Aturan-aturan

2.2. Definisi Masyarakat
2.2.1. Definisi secara etimologis
Secara etimologi istilah masyarakat berasal dari bahasa inggris society yang artinya kawan.
2.2.2. Definisi secara konseptual
Selo Sumardjan
Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan.
Karl Marx
Masyarakat adalah suatu struktur yang menderita suatu ketegangan organisasi atau perkembangan akibat adanya pertentangan antara kelompok-kelompok yang terbagi secara ekonomi.
Emile Durkheim
Masyarakat merupakan suatu kenyataan objektif pribadi-pribadi yang merupakan anggotanya.
Paul B. Horton & C. Hunt
Masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok / kumpulan manusia tersebut.
Koentjaraningrat

Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi sesuai dengan adat istiadat tertentu yang sifatnya berkesinambungan, dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama.

2.2.3. Definisi secara operasional
Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang tinggal bersama-sama dalam suatu wilayah tertentu dan waktu yang cukup lama yang berinteraksi sesuai kebudayaan yang dihasilkannya dan adat istiadat yang ada serta memiliki rasa keterikatan satu sama lain oleh suatu rasa identitas kebersamaan.

2.2.4. Instrumen variabel teori
Variabel Dimensi Indikator


M
A
S
Y
A
R
A
K
A
T

Manusia
• Anak kecil
• Remaja
• Orang tua

Adat istiadat
• Peraturan
• Norma sosial
• Nilai-nilai


Identitas
• Individu
• Kelompok
• Suatu wilayah

BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Kabupaten Tana Toraja terletak di pedalaman Provinsi Sulawesi Selatan, 340 km ke arah utara dari Makasar, dengan ibukotanya Makale.
Daerah Tana Toraja umumnya merupakan tanah pegunungan kapur dan batu alam, diselingi dengan ladang dan hutan, dilembahnya terdapat hamparan persawahan.
Latar belakang arsitektur rumah tradisional Toraja menyangkut falsafah kehidupan yang merupakan landasan dari perkembangan kebudayaan Toraja.
Dalam pembangunannya ada hal-hal yang mengikat, yaitu:
1.Aspek arsitektur dan konstruksi
2.Aspek peranan dan fungsi rumah adat
Rumah tradisional atau rumah adat yang disebut Tongkonan harus menghadap ke utara, letak pintu di bagian depan rumah, dengan keyakinan bumi dan langit merupakan satu kesatuan dan bumi dibagi dalam 4 penjuru, yaitu:
1.Bagian utara disebut Ulunna langi, yang paling mulia.
2.Bagian timur disebut Matallo, tempat metahari terbit, tempat asalnya kebahagiaan atau kehidupan.
3.Bagian barat disebut Matampu, tempat metahari terbenam, lawan dari kebahagiaan atau kehidupan, yaitu kesusahan atau kematian.
4.Bagian selatan disebut Pollo’na langi, sebagai lawan bagian yang mulia, tempat melepas segala sesuatu yang tidak baik.

Bertolak pada falsafah kehidupan yang diambil dari ajaran Aluk Todolo, bangunan rumah adat mempunyai makna dan arti dalam semua proses kehidupan masyarakata Toraja, antara lain:
1.Letak bangunan rumah yang membujur utara-selatan, dengan pintu terletak di sebelah utara.
2.Pembagian ruangan yang mempunyai peranan dan fungsi tertentu.


3.Perletakan jendela yang mempunyai makna dan fungsi masing-masing.
4.Perletakan balok-balok kayu dengan arah tertentu, yaitu pokok di sebelah utara dan timur, ujungnya disebelah selatan atau utara.
Pembangunan rumah tradisional Toraja dilakukan secara gotong royong, sesuai dengan kemampuan masing-masing keluarga, yang terdiri dari 4 macam, yaitu:
1.Tongkonan Layuk, rumah adat tempat membuat peraturan dan penyebaran aturan-aturan.
2.Tongkonan Pakamberan atau Pakaindoran, rumah adat tempat melaksanakan aturan-aturan. Biasanya dalam satu daerah terdapat beberapa tongkonan, yang semuanya bertanggung jawab pada Tongkonan Layuk.
3.Tongkonan Batu A’riri, rumah adat yang tidak mempunyai peranan dan fungsi adat, hanya sebagai tempat pusat pertalian keluarga.
4.Barung-barung, merupakan rumah pribadi. Setelah beberapa turunan (diwariskan), kemudian disebut Tongkonan Batu A’riri.
Letak Geografis.
Geografis 1 - Toraja (atau Tana Toraja) terletak di daerah tropis, dengan yang hanya mengenal dua musim; seperti Indonesia pada umumnya, yaitu musim hujan dan musim kemarau.
Geografis 2 - Toraja (atau Tana Toraja) terletak di Indonesia Bagian Tengah yang perbedaan waktunya dengan GMT(Greenwich Mean Time) = +8 jam.
Geografis 3 - Toraja (atau Tana Toraja) terletak pada sekitar 300 km sebelah Utara Timur Laut (UTL) kota metropolitan Makassar; yang adalah ibukota propinsi Sulawesi Selatan.
Geografis 4 - Toraja (atau Tana Toraja) memiliki kelembaban yang tinggi karena adanya hutan yang cukup luas, tetapi sekarang ini sudah dijadikan lahan mata pencaharian penduduk.

Keadaan Alam
Lingkungan sekitar - Sebagian besar tekstur daerah Toraja (Tana Toraja) merupakan pegunungan yang berbatu-batu dengan bukit batu yang menjulang disana-sini, sehingga Toraja kelihatan seperti dikelilingi benteng batu.
Tekstur Tanah - Keadaan tanah di Toraja (Tana Toraja) sebagian besar kurang subur, sehingga kurang cocok untuk ditanami tanaman padi. Hal itu juga disebabkan karena kontur yang miring, sehingga sangat sulit untuk bertanam padi. Namun demikian tanahnya cocok untuk tempat bertanam kopi, karena hawa yang cukup dingin dan keadaan yang memadai.
Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidenreng dan dari Luwu. Orang Sidenreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja yang mengandung arti "Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan", sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah "orang yang berdiam di sebelah barat". Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.
Wilayah Tana Toraja juga digelar Tondok Lili'na Lapongan Bulan Tana Matari'allo arti harfiahnya adalah "Negri yang bulat seperti bulan dan matahari". Wilayah ini dihuni oleh satu etnis (Etnis Toraja).
Tana Toraja merupakan salah satu Kabupaten yang terletak di sulawesi Selatan ini beribukota di Makale. Secara geografis terletak antara 2o- 3o LS dan antara 119o- 120o BT, daerah ini berbatasan dengan Kabupaten Luwu dan Mamuju di utara, Kabupaten Luwu di selatan, Kabupaten enrekang dan Pinrang di selatan, Kabupaten Polmas di barat. Luas wilayah Kabupaten tana Toraja adalah 3.205,77 Km2.
Secara administratif, daerah ini terbagi menjadi 29 kecamatan dan 268 Kelurahan. Tana Toraja dikenal sebagai tanah para raja ini juga terkenal dengan adat istiadat yang masih sangat kental, Tana Toraja memiliki alam dan budaya yang memesona. Tidak heran, kabupaten di Sulawesi Selatan itu banyak dikunjungi wisatawan.

3.1. Bahasa
banyaknya suku di tana toraja, membuat tana toraja memiliki beragam bahasa. Namun akhirnya hanya 1 bahasa resmi yang di gunakan di tana toraja adalah bahasa bugis.
3.2. Sistem Teknologi & Alat Produksi
Pada masyarakat Toraja terdapat bermacam-macam teknologi yang digunakan seperti:
Alat Dapur
 La’ka sebagai alat belanga
 Pesangle yaitu sendok nasi dari kayu
 Karakayu yaitu alat pembagi nasi
 Dulang yaitu cangkir dari tempurung
 Sona yaitu piring anyaman
Alat Perang / Senjata Kuno
 Doke atau tombak untuk alat perang dan berburu
 Penai yaitu parang
 Bolulong yaitu perisai
 Sumpi atau sumpit
Alat Perhiasan
 Beke – ikat kepala
 Manikkota – kalung
 Komba – gelang tangan
 Sissin Lebu – cincin besar
Alat Upacara Keagamaan
 Pote – tanda berkabung untuk pria dan wanita
 Tanduk Rongga – Perhiasan dikepala
 Pokti – tempat sesajen
 Sepui – tempat sirih
Alat Musik Tradisional
 Geso – biola
 Tomoron – terompet
 Suling Toraja

3.3. Sistem Mata Pencaharian
Masyarakat Toraja banyak yang memiliki sawah sehingga sebagian besar penduduk Toraja bermata pencaharian sebagai petani. Dalam rumah tangga bagi orang suku toraja suami dan isteri sama-sama mencari nafkah, seperti dalam pertanian kalau suami mencangkul disawah adalah kewajiban isteri menanaminya.

3.4. Organisasi Sosial
Adat istiadat Toraja dibagi menjadi 2, yaitu Rambu Tuka' (aluk rampe matallo) dan Rambu Solo' (aluk rampe matampu).
Rambu Tuka' adalah ritus yang terkait dengan upacara sekitar kehidupan, dalam kelompok ini antara lain upacara kelahiran, perkawinan (rampanan kapa’), pesta panen, pesta sukuran/suka cita dst. Ritus ini dilakukan pada saat matahari terbit hingga tengah hari. Ritus ini berorientasi kearah timur dan biasanya dilaksanakan di sebelah timur Tongkonan (rumah adat Toraja).
Rambu Solo' adalah adat yang mewajibkan keluarga yang di tiggal menyelenggarakan sebuah pesta sebagai penghormatan terakhir pada mendiang yang telah meninggal. Orang Toraja menganggap ritus ini sebagai ritus yang lebih penting dibanding Rambu Tuka’.

Ada empat warna khas Toraja yang selalu menghiasi baik lukisan ukir kayu maupun kerajinan lainnya. Warna-warna itu adalah hitam sebagai lambang kematian yang menggunakan abu, merah sebagai lambang darah yang menggunakan bahan tanah, lantas kuning yang bermakna kesenangan dengan bahan dari tanah, serta warna putih sebagai simbol kesucian dengan bahan pewarna dari batu kapur.

Rumah adat Toraja disebut Tongkonan, yang berarti tempat duduk. Dulu Tongkonan merupakan pusat kekuasaan adat dan tidak dimiliki oleh perseorangan. Bentuknya menyerupai perahu yang berdinding papan berukir. Deretan tanduk kerbau yang terpasang rapi di depan rumah menandakan status sosial pemiliknya.
adat-dan-upacara-perkawinan-suku-rejang Bagi suku Rejang perkawinan mempunyai beberapa tujuan.
Tujuan suatu perkawinan adalah :
1. untuk mendapatkan teman hidup dan memperoleh keturunan, yang disebut Mesoa Kuat Temuun Juei;
2. untuk memenuhi kebutuhan biologis, hal dimaksudkan agar kaum muda dapat terhindar dari perbuatan tercela;
3. memperoleh status sosial ekonomi. Bagi suku Rejang bujang dan gadis belum merupakan orang kaya ( coa ade kayo ne) oleh karena itu mereka harus kawin, setelah kawin mereka akan bekerjasama untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga dan memupuk kekayaan bagi keluarga mereka sendiri. Pengantin Rejang dari turunan bermani ix Suku Rejang juga memiliki suatu pandangan mengenai perkawinan yang diinginkan (ideal). Perkawinan seperti ini kebanyakan diukur dari kondisi calon pengantin, baik laki maupun perempuan. Perempuan yang baik untuk menjadi isteri apabila dia memenuhi berbagai persyaratan, yang pada dasarnya menunjukkan perilaku yang baik dan pandai mengatur rumah tangga.

Persyaratan-persyaratan tersebut antara lain adalah :
baik tutur katanya;
pandai mengatur halaman rumah dan bunga-bunga di pekarangan; pandai menyusun/mengatur kayu api (semulung putung);
bagus bumbung airnya (lesat beluak bioa);
dan mempunyai sifat pembersih
Sedangkan bagi kaum laki-laki, syarat-syarat yang harus dipenuhi menunjukkan bahwa ia adalah orang yang berilmu-pengetahuan dan berketerampilan.
Syarat-syarat bagi laki-laki tersebut antara lain adalah :
banyak ilmu batin dan pandai bersilat;
pandai menebas dan menebang kayu;
pandai membuat alat senjata dan alat-alat untuk bekerja.
Selain itu dalam adat suku Rejang juga diatur larangan untuk kawin bagi anggota suku tersebut. Secara adat, orang Rejang dilarang kawin dengan saudara dekat, sebaiknya perkawinan itu dilakukan dengan orang lain (mok tun luyen). Perkawinan dengan saudara dekat dianggap merupakan suatu perkawinan sumbang, yang mereka sebut Kimok (memalukan/menggelikan). Perkawinan dengan sesama famili disebut kawin Sepasuak dan perkawinan dengan saudara yang berasal dari moyang bersaudara (semining) disebut Mecuak Kulak.
Perkawinan Sepasuak dan Mecuak Kulak ini merupakan perkawinan yang dilarang, namun demikian apabila tidak dapat dihindarkan maka mereka yang kawin didenda secara adat berupa hewan peliharaan atau uang, denda seperti ini disebut Mecuak Kobon. Jenis perkawinan lainnya yang dilarang secara adat adalah perkawinan antara seorang pria atau wanita dengan bekas isteri atau suami dari saudaranya sendiri, apabila saudaranya tersebut masih hidup. Bentuk-bentuk perkawinan dalam adat suku Rejang berhubungan erat dengan peristiwa atau kejadian sebelum perkawinan tersebut dilaksanakan.
Bentuk-bentuk perkawinan tersebut adalah :
1. Perkawinan biasa, yakni perkawinan antara pria dan wanita yang didahului dengan acara beasen (bermufakat) antara kedua belah pihak.
2. Perkawinan sumbang, yakni perkawinan yang dianggap memalukan. Misalnya karena sang gadis telah berbuat hal-hal yang memalukan (komok) sehingga menimbulkan celaan dari masyarakat atau perkawinan yang dilakukan oleh sesama saudara dekat.
3. Perkawinan ganti tikar (Mengebalau), yaitu perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki yang isterinya telah meninggal dengan saudara perempuan isterinya, atau dengan perempuan yang berasal dari lingkungan keluarga isterinya yang telah meninggal tersebut. Upacara perkawinan dalam adat suku rejang mencakup tiga kegiatan pokok, yaitu upacara sebelum perkawinan, upacara pelaksanaan perkawinan dan upacara setelah perkawinan.
Oleh sebab itu, perkawinan dalam suku Rejang terdiri dari :
Upacara sebelum perkawinan, yang terdiri dari :
1. Meletak Uang, yaitu upacara pemberian uang atau barang emas yang dilakukan oleh kedua calon mempelai di rumah si gadis, dengan disaksikan oleh keluarga kedua belah pihak. Maksud upacara ini adalah memberi tanda ikatan bahwa bujang dan gadis tersebut sudah sepakat untuk menikah.
2. Mengasen, yaitu meminang yang dilakukan di rumah keluarga si gadis.
3. Jemejai atau Semakup Asen, yaitu upacara terakhir dalam peminangan yang merupakan pembulatan kemufakatan antara kedua belah pihak.
Tujuan upacara ini adalah untuk :
meresmikan atau mengumumkan kepada masyarakat bahwa bujang dan gadis tersebut telah bertunangan dan akan segera menikah; mengantar uang antaran (mas kawin), dan menyampaikan kepada Ketua Adat mengenai kedudukan kedua mempelai itu nantinya setelah menikah.
Upacara Pelaksanaan Perkawinan, terdiri dari :
Upacara pelaksanaan perkawinan pada suku Rejang pada umumnya terdiri dari dua macam upacara, yaitu Mengikeak dan kemudian diikuti dengan Uleak. Mengikeak adalah upacara akad nikah dan upacara Uleak adalah pesta keramaian perkawinan. Pelaksanaan Mengikeak biasanya dilaksanakan di tempat pihak yang mengadakan Uleak, namun demikian berdasarkan permufakatan bisa saja mengikeak dilaksanakan di rumah mempelai pria dan Uleak dilaksanakan di rumah mempelai wanita.
Dalam permufakatan adat hal seperti ini disebut : Mengikeak keme, uleak udi artinya menikah kami merayakannya kamu.
Upacara Sesudah Perkawinan, terdiri dari :
Pada zaman sekarang berbagai upacara sesudah pelaksanaan perkawinan tidak begitu diperhatikan lagi. Pada zaman dahulu setelah upacara perkawinan, dilakukan pula berbagai upacara yaitu :
1. Mengembalikan alat-alat yang dipinjam dari anggota dan masyarakat dusun.
2. Pengantin mandi-mandian, melambangkan mandi terakhir bagi kedua mempelai dalam statusnya sebagai bujang (jejaka) dan gadis.
3. Doa selamat.
4. Cemucu Bioa, yaitu berziarah ke makam-makam para leluhur.

Adat Menetap Sesudah Perkawinan
Apabila akad nikah dan upacara perkawinan telah dilakukan, maka kedua mempelai itu telah terikat oleh norma adat yang berlaku. Kebebasan bergaul seperti pada masa bujang dan gadis hilang, dan berganti ke dalam ikatan keluarga di mana mereka bertempat tinggal. Status tempat tinggal (Duduk Letok) mereka ditentukan oleh hasil permufakatan yang telah diputuskan dalam upacara Asen. Bagi suku bangsa Rejang ada dua macam Asen, yakni Asen Beleket dan Asen Semendo. Asen Beleket artinya mempelai perempuan masuk ke dalam keluarga pihak laki-laki, baik tempat tinggalnya maupun sistem kekerabatannya. Asen Beleket dibedakan lagi dalam dua macam Asen, yaitu Leket Putus dan Leket Coa Putus (tidak putus). Pada Leket Putus, hubungan mempelai perempuan dengan pihak keluarganya diputuskan sama sekali. mempelai perempuan tersebut sepenuhnya menjadi hak keluarga pihak laki-laki. Apabila suaminya meninggal terlebih dahulu, maka perempuan tersebut tetap tinggal di lingkungan keluarga suaminya.
Biasanya ia dinikahkan dengan saudara suaminya atau sanak saudara suaminya yang lain, tanpa membayar uang apa-apa dan ia tidak boleh menolak. Pada Leket Coa Putus hubungan mempelai perempuan dengan keluarganya tidak terputus sama sekali. Pada Asen Semendo terdapat banyak variasi.
Pada mulanya Asen Semendo merupakan lawan atau kebalikan dari Asen Beleket, yakni :
1. Semendo Nyep Coa Binggur (hilang tidak terbatas), mempelai laki-laki masuk dan menjadi hak pihak keluarga perempuan sepenuhnya.
2. Semendo Nyep/Tunakep (menangkap burung sedang terbang), mempelai laki-laki dianggap oleh keluarga pihak perempuan sebagai seorang yang datang tidak membawa apa-apa. Jika terjadi perceraian atau laki-laki tersebut meninggal terlebih dahulu maka semua hak warisnya jatuh kepada isterinya.
3. Semendo Sementoro/Benggen (berbatas waktu), mempelai laki-laki pada awal kehidupan berkeluarga harus tinggal dalam lingkungan keluarga pihak mempelai perempuan, setelah itu dia bersama isterinya dapat tinggal dalam lingkungan keluarga asalnya atau membentuk lingkungan keluarganya sendiri.
4. Semendo Rajo-Rajo, yaitu apabila kedua mempelai berasal dari dua keluarga yang sama kuat atau sederajat. Kedudukan dan tempat tinggal kedua mempelai setelah perkawinan diserahkan sepenuhnya kepada kedua mempelai untuk memutuskannya.

3.5. Sistem Pengetahuan
Masyarakat Toraja mempunyai sistem pengetahuan waktu yang berhubungan dengan hari yang baik atau bulan yang baik. Dalam kehidupan masyarakat Toraja dikenal 3 waktu :
1. Pertanam ( Setahun Padi )
2. Sang Bulan ( 30 hari )
3. Sang Pasa ( Sepekan )
4.
3.6. Sistem Religi
1. Kepercayaan Terhadap Alam Kehidupan Setelah Mati
Ajaran Aluk Todolo menurut orang Toraja berisi konsep kepercayaan terhadap alam kehidupan setelah mati. Ajaran ini menganggap bahwa arwah seseorang setelah mati tidak hilang begitu saja melainkan kembali ke suatu tempat yang dianggap sebagai alam arwah atau sebagai tempat asal-usul leluhur mereka. Konsep kepercayaan ini kemudian diimplementasikan dalam sistem upacara terutama upacara yang berkaitan dengan kematian (Rambu Solok) dan sistem penguburan.

Secara umum tujuan dari upacara yang termasuk kelompok Rambu Solok adalah untuk keselamatan arwah leluhur di alam puya dan kesejahteraan serta keselamatan manusia di dunia. Dalam pelaksanaan jenis upacara tersebut dipergunakan berbagai sarana termasuk beberapa peninggalan budaya megalitik yang dapat tahan lama, seperti menhir, lumpang batu, dan karopik. Berdasarkan fungsinya dapat diketahui jenis peninggalan yang dipergunakan sebagai sarana pemujaan untuk keselamatan arwah leluhur di alam puya, yaitu menhir jenis pesungan banek, menhir jenis simbuang, lumpang batu, karopik, dan kandean dulang.

Aktivitas lain yang berkaitan dengan keselamatan arwah leluhur tecermin pada bentuk serta tata letak kubur dan wadah yang dipergunakan. Tujuan dari penguburan erat kaitannya dengan kepercayaan akan kehidupan setelah mati, yang menyebabkan manusia untuk menguburkan mayatnya dengan maksud untuk melestarikan arwahnya di alam baka. Latar belakang konsepsi kepercayaan tersebut telah mendorong masyarakat Toraja pada masa lampau untuk menguburkan anggota keluarga atau masyarakatnya dengan sebaik-baiknya. Pelaksanaan penguburan tersebut dilakukan dengan penguburan pada beberapa jenis kubur baik secara langsung (kubur primer) maupun secara tidak langsung (kubur sekunder), baik yang mempergunakan wadah tertentu seperti erong mau pun tanpa wadah seperti pada kubur jenis Sillik.

Di Sillanan orang yang meninggal dunia dikuburkan di Liang dengan mempergunakan beberapa jenis kubur, baik yang mempergunakan wadah seperti erong maupun tanpa wadah, sesuai dengan status sosialnya masing-masing. Hal ini sesuai dengan aturan adat yang bersumber dari Aluk Todolo, demi keselamatan arwah sampai ke alam puya. Jenis Liang Sillik diperuntukkan bagi strata sosial yang berasal dari Tanak Kua-Kua (strata sosial rendah), yaitu penguburan pertama tanpa menggunakan wadah tertentu. Sedangkan strata sosial menengah dan tinggi, dikuburkan pada jenis Liang Erong, Liang Tokek, Liang Pak, dan Patane, yang mempergunakan wadah erong, baik yang berfungsi untuk penguburan pertama mau pun untuk penguburan kedua. Penguburan kedua hanya berlaku bagi para bangsawan tinggi dan keluarganya.

Tata letak kubur dan wadah erong adalah utara-selatan, di mana mayat diletakkan dengan menghadap ke utara yaitu bagian kaki di utara dan kepala di selatan. Tujuan dari arah hadap ke utara, adalah adanya pandangan bahwa tempat bersemayamnya para dewa adalah di arah utara dari perkampungan mereka, sehingga asal-usul leluhur mereka adalah datang dari arah utara. Orang Toraja percaya bahwa asal-usul nenek moyang mereka berasal dari dewa, sehingga ketika mereka meninggal maka arwah leluhur akan kembali ke asalnya, yaitu menjadi dewa di alam puya. Namun untuk mencapai hal tersebut maka harus melewati tahap-tahap upacara kematian dan sistem penguburan yang telah ditentukan oleh Aluk Todolo.

Letak Liang selalu dekat dari pemukiman dan berada di tempat yang tinggi seperti di bukit, pegunungan atau tempat yang sengaja ditinggikan. Letak Liang yang dekat dengan pemukiman menunjukkan bahwa Liang merupakan salah satu unsur dari suatu pola permukiman, seperti yang dikemukakan oleh Michael B. Schiffer bahwa situs kubur merupakan bagian dari suatu daerah yang berkaitan dengan penguburan dalam lokasi permukiman (Schiffer,1985: 371). Tujuan dari penempatan kubur yang dekat dengan pemukiman, dilatarbelakangi oleh suatu konsep kepercayaan akan adanya hubungan timbal-balik antara orang yang masih hidup dengan orang yang telah meninggal dunia. Penempatan lokasi penguburan yang dekat dengan tempat bermukim juga masih ditemukan pada beberapa suku bangsa lainnya di Indonesia.
Sementara letak kubur pada tempat yang lebih tinggi dari pemukiman, dilatarbelakangi oleh suatu kepercayaan bahwa alam kubur sebagai tempat bersemayamnya arwah leluhur, harus berada di tempat yang lebih tinggi dari pemukiman manusia agar mudah dalam mengawasi perilaku manusia yang masih hidup di dunia. Kepercayaan akan tempat yang tinggi seperti puncak bukit atau puncak gunung sebagai tempat bersemayamnya para arwah leluhur, terdapat pada beberapa suku bangsa di Indonesia seperti di Bali yang percaya bahwa di puncak Gunung Agung, Gunung Batur, Gunung Sangiang, dan beberap gunung lainnya sebagai tempat bersemayamnya arwah leluhur mereka (Soejono, 1977: 269).

Penggunaan bentuk-bentuk wadah erong tertentu seperti bentuk persegi, bentuk kerbau, dan bentuk perahu dalam sistem penguburan mereka, selain berkaitan dengan stratifikasi sosial, memunyai makna pula sebagai tanda kenderaan yang dapat membawa arwah leluhur ke alam puya, khususnya bagai masyarakat yang berasal dari startifikasi sosial tinggi (Tanak Bulaan).

Hal lain yang menjadi syarat demi keselamatan arwah leluhur sampai ke alam puya, adalah bekal bagi orang yang meninggal dalam bentuk korban yang dipersembahkan dalam berbagai upacara Rambu Solok dan bekal kubur. Setiap tahapan upacara Rambu Solok membutuhkan korban persembahan dalam jumlah yang besar, semua dianggap sebagai bekal untuk keselamatan arwah leluhur sampai ke alam puya. Sedangkan benda-benda berharga yang dimiliki simati semasa hidupnya seperti emas, perak, dan benda-benda beharga lainnya disertakan sebagai bekal kubur ketika dikubur.
2. Kepercayaan Terhadap Arwah Leluhur
Secara umum inti dari konsep kepercayaan terhadap arwah leluhur adalah kepercayaan akan pengaruh kuat dari arwah leluhur terhadap kesuburan tanaman dan keberhasilan panen serta kesejahteraan manusia di dunia. Kepercayaan tersebut telah dikenal dan dianut secara luas oleh masyarakat pada berbagai suku bangsa di Indonesia sejak akhir masa bercocok tanam. Sebagai sarana penghubung antara orang atau masyarakat yang masih hidup dengan arwah leluhurnya, maka didirikanlah bangunan-bangunan megalitik. Melalui upacara-upacara tertentu, arwah leluhur dianggap dapat hadir ke dalam bangunan megalitik tersebut untuk dimintai pertolongan misalnya dapat membantu menolak bala dan mengusir roh-roh jahat yang dapat mengganggu kehidupan manusia, menyuburkan tanaman dan meningkatkan keberhasilan panen, menjaga keselamatan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sebagainya.

Hubungan antara orang hidup dengan orang yang telah meninggal tidak hanya bersifat searah akan melainkan bersifat timbal-balik karena keselamatan arwah para leluhur juga sangat ditentukan oleh perlakuan dari kerabat atau masyarakat yang ditinggalkannya. Keselamatan arwah leluhur di alam puya sangat tergantung kepada pemenuhan syarat-syarat yang dibutuhkan sesuai dengan ketentuan adat, seperti berbagai tahapan upacara, bekal berupa korban persembahan dan bekal kubur, dan perlakuan-perlakuan lainnya setelah seseorang meninggal.

Berdasarkan konsep kepercayaan tersebut, maka dalam menjalankan berbagai upacara ritual dibutuhkan sarana seperti bangunan-bangunan megalitik yang berfungsi sebagai media penghubung di antara kedua belah pihak. Sarana-sarana tersebut sebagai suatu peninggalan, dapat mencerminkan sistem kepercayaan masyarakat masa lampau, termasuk di dalamnya adalah yang berkaitan dengan obyek (oknum) yang dipuja. Dari hasil penelitian para ahli tentang peninggalan megalitik, dapat diketahui bahwa yang menjadi obyek sebagai adhi kodrati dalam kepercayaan tersebut adalah arwah leluhur.

Di Sillanan terdapat beberapa peninggalan megalitik yang erat kaitannya dengan kepercayaan terhadap arwah leluhur yaitu menhir yang terdiri dari beberapa jenis (basse, tumpuang, pesungan banek, simbuang), karopik, susunan batu temu gelang, altar batu, lumpang batu, takhta batu, teras berundak, dan kandean dulang. Berdasarkan fungsi masing-masing temuan tersebut seperti telah diuraikan di atas, dapat diketahui peranannya masing-masing, yaitu kesemuanya berkenaan dengan pemujaan terhadap arawah leluhur.
3. Pengaruh Konsep Kosmologis Terhadap Pola Keletakan Temuan dan Situs
Seperti telah diuraikan pada bagian deskripsi data di atas, tampak secara jelas tentang pola keletakan temuan pada setiap situs dan pola keletakan situs. Hal yang menarik untuk dikaji adalah yang berkaitan dengan sistem gagasan/ide yang melatarbelakangi terbentuknya pola sebaran temuan dan situs tersebut. Kajian arkeologi untuk mengetahui sistem ideologi lewat peninggalan budaya fisik sangat sulit untuk mencapai tujuan. Hal ini disebabkan manusia pendukung budaya tersebut tidak didapatkan lagi. Untuk itu dalam pembahasan ini, dipergunakan analogi dengan data etnografi berupa tradisi lisan yang masih hidup dalam masyarakat setempat. Berdasarkan analogi tersebut, dapat diketahui bahwa pola sebaran temuan dan situs sangat erat kaitannya dengan konsep kosmologis yang mereka pahami.

Dalam kehidupan, masyarakat Toraja selalu berusaha menciptakan keharmonisan dengan alam, masyarakat, dan keluarga sesuai dengan ajaran Aluk Todolo. Alam kehidupan di dunia (kesatuan adat, Tongkonan, masyarakat, keluarga, dan individu) dianggap sebagai mikrokosmos yang harus selalu diselaraskan dengan alam jagat raya (makrokosmos). Keselarasan dan keseimbangan tersebut dapat diwujudkan dalam semua aspek kehidupan dengan berpatokan kepada pengklasifikasian alam ini secara horisontal dan secara vertikal. Klasifikasi alam secara horisontal adalah klasifikasi berdasarkan timur-barat dan utara-selatan, sedangkan klasifikasi secara vertikal adalah pembagian alam atas, alam tengah, dan alam bawah.

Kehidupan dalam suatu kesatuan adat, dalam keluarga (Tongkonan) dan dalam diri individu setiap orang, dianggap sebagai simbol dari kosmos (mikrokosmos). Klasifikasi mikrokosmos sebagai reflika dari makrokosmos atas timur-barat, utara-selatan, atas-bawa, dianggap berpusat di Tongkonan dalam satu kesatuan adat, dan untuk satu keluarga disimbolkan oleh Tongkonan itu sendiri yang pusatnya adalah pada tiang utama (ariri posik) dari Tongkonan tersebut dan pada diri individu dianggap berpusat pada pusar manusia.

Klasifikasi timur-barat lebih banyak dihubungkan dengan tahapan kehidupan manusia, kelahiran dianggap sama dengan arah timur (Mataallo), sebagaimana matahari mulai terbit memancarkan sinarnya dan secara perlahan-lahan naik mencapai puncak kehidupan kemudian menurun dan akhirnya mati, berarti matahari sudah terbenam di arah barat (Matampuk) dan terjadi peralihan dari terang ke gelap. Kematian seseorang dianggap sebagai suatu proses kehidupan untuk memulai kehidupan yang baru, atau suatu peralihan kehidupan dari alam fana (lino) ke alam baka (puya) yang senantiasa diharapkan menjadi suci untuk mencapai tingkat dewa. Semua tahap-tahap kehidupan berdasarkan peredaran matahari dari timur ke barat, dilalui dengan melaksanakan serangkain upacara-upacara yang dapat dikelompokkan atas dua, yaitu kelompok upacara Rambu Tukak yang diatur dalam Aluk Mataallo dan kelompok upacara Rambu Solok yang diatur dalam Aluk Matampuk. Tempat pelaksanaan upacara harus disesuaikan dengan jenis dan tujuannya, apakah harus berada di sebelah timur atau sebelah barat Tongkonan.

Klasifikasi utara-selatan berhubungan dengan hal-hal yang bersifat baik dan tidak baik, utara dianggap sebagai tempat para dewa atau tempat terhormat (kepala bumi = Ulunna Lino), sedangkan selatan dianggap tempat para Bombo atau tempat yang kotor (bagian bawah bumi = Pollokna Lino). Berbagai macam upacara yang dilakukan, jenis dan tujuannya harus selalu berpatokan pada pembagian tersebut. Sedangkan klasifikasi berdasarkan alam atas-tengah-bawah, dihubungkan dengan proses terjadinya kehidupan, yaitu pertemuan antara alam atas (langit) yang disimbolkan sebagai laki-laki (baik) dengan alam bawah (air) disimbolkan dengan wanita (buruk), kemudian melahirkan alam tengah (alam kehidupan manusia di dunia) sebagai suatu keseimbangan atau keselarasan.

Klasifikasi kosmos tersebut dimanifestasikan dalam mikrokosmos seperti diri manusia dan Tongkonan. Manusia dianggap sebagai simbol dari kosmos, yaitu kepala dianggap sebagai Ulunna Lino, bagian bawah manusia dianggap sebagai Pollokna Lino, bagian kanan manusia dianggap Mataallo, dan bagian kiri dianggap sebagai Matampuk. Pembagian berdasarkan alam atas-tengah-bawah, disimbolkan pada diri manusia yaitu kepala dianggap sebagai alam atas, bagaian tengah (perut) dianggap sebagai alam tengah, dan bagian bawah (kaki) dianggap sebagai alam bawah. Dalam bangunan Tongkonan klasifikasi tersebut juga berlaku, di mana Tongkonan harus selalu menghadap ke utara. Tongkonan sebagai pusat dari mikrokosmos maka semua aktivitas manusia terutama yang berkaitan dengan upacara ritual, harus berpatokan kepada Tongkonan. Kelompok upacara Rambu Tukak tempat pelaksanaannya di sebelah timur Tongkonan; kelompok upacara Rambu Solok tempat pelaksanaannya di sebelah barat Tongkonan; upacara yang ditujukan kepada para dewa tempat pelaksanaannnya di sebelah utara Tongkonan atau tempat yang telah ditentukan secara khusus; dan upacara yang ditujukan kepada Bombo, tempat pelaksanaannya di sebelah selatan Tongkonan.

Deskripsi data etnorafi sebagaimana terurai di atas, dapat dikaitkan dengan data arkeologis sebagai berikut: (1) tata letak temuan dan situs di Sillanan mengikuti konsep kosmologis orang Toraja sebagai gambaran dari klasifikasi kosmos (kosmografi); (2) kosmografi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: lokasi Tongkonan Layuk terletak di tengah-tengah sebagai pusat dari kosmos, terutama pada petak 3 teras III sebagai tempat berdirinya bangunan rumah Tongkonan Layuk. Tongkonan Layuk sebagai simbol kosmos (mikrokosmos), sesungguhnya merepresentasikan ketua adat yang berperan sebagai pemimpin keagamaan dan bahkan pemimpin pemerintahan adat. Ketua adat sebagai pemimpin pelaksanaan berbagai macam upacara ritual, karena dialah yang dianggap simbol pusat dan bahkan sebagai mikrokosmos itu sendiri. Ketua adalah yang dapat berkomunikasi sebagai penghubung antara mikrokosmos (alam kehidupan manusia) dengan makrokosmos (alam kehidupan leluhur). Lokasi Bubun dan lokasi Rante Sarapuk berada di sebelah timur situs Tongkonan Layuk sebagai tempat melaksanakan upacara Rambu Tukak. Lokasi Pakpuangan dan lokasi Liang berada di sebelah barat situs Tongkonan Layuk, masing-masing berfungsi sebagai tempat melaksanakan upacara Rambu Solok dan sebagai tempat berlangsungnya aktivitas penguburan.
Lokasi Rante Simbuang tidak masuk dalam aturan klasifikasi kosmos yang berpusat di Tongkonan, karena dianggap sebagai mikrokosmos tersendiri yaitu sebagai simbol dari suatu perkampungan adat atau suatu kesatuan adat tertentu pada waktu difungsikan sebagai tempat pelaksanaan upacara kematian, sehingga penempatannya bisa di mana saja yang penting strategis dan memungkinkan untuk menampung banyak orang. Lokasi bubun (sumur) terletak pada arah selatan agak ke timur (tenggara) dari situs Tongkonan Layuk karena fungsinya adalah sebagai tempat pelaksanaan upacara untuk meminta perlindungan kepada Puang Matua, agar air suci yang diambil dari tempat tersebut terhindar dari gangguan roh-roh jahat (Bombo); tata letak temuan dalam suatu situs sangat ditentukan pula oleh konsep kosmos tersebut. (3) Konsep kosmogoni diuraikan oleh Aluk Todolo, tentang kepercayaan terhadap alam kehidupan setelah mati (alam arwah), yaitu terdiri dari alam Bombo dan alam Puya.

Berdasarkan fungsi temuan situs dan fungsi situs, maka tampak bahwa tata letak situs dan temuan situs sangat dipengaruhi oleh faktor ideologis, yaitu konsep kosmologis dan stratifikasi sosial yang kesemuanya bersumber pada ajaran Aluk Todolo.

Peninggalan budaya megalitik di Sillanan yang erat kaitannya dengan pemujaan leluhur, secara fungsinal dapat kategorikan sebagai: medium dalam pemujaan terhadap arwah leluhur, seperti menhir jenis basse dan menhir jenis pesungan banek; sebagai sarana dalam pemujaan terhadap arwah leluhur, seperti lumpang batu, altar batu, kandean dulang, dan teras berundak; sebagai batas antara daerah sakral dan profan seperti pagar batu dan susunan batu temu gelang; sebagai simbol dari seorang tokoh dan tanda orang meninggal seperti menhir jenis simbuang dan karopik; sebagai tanda penolak bala seperti menhir jenis tumpuang.
Secara umum peninggalan-peninggalan megalitik tersebut memiliki fungsi yang berbeda-beda, namun semuanya itu dilatarbelakangi oleh suatu keyakinan bahwa benda-benda tersebut memiliki kekuatan gaib, terutama pada waktu dipergunakan dalam upacara. Kekuatan gaib tersebut tidak lain adalah kekuatan dari arwah leluhur yang menjelma atau hadir di dalam benda-benda tersebut pada waktu dipergunakan dalam pelaksanan upacara tertentu. Hal ini dilatarbelakngi oleh suatu keyakinan bahwa arwah leluhur memunyai suatu kekuatan sakti atau kekuatan magis, yang dapat membantu manusia yang masih hidup.

Berdasarkan pada data etnografi dapat diketahui tentang kekuatan (obyek) yang dipuja, yaitu dewa-dewa yang dapat dibagi atas tiga: dewa tertinggi yang disebut Pong Matua, yaitu dewa yang menciptakan kehidupan manusia dan alam; dewa pada tingkat kedua yaitu Deata-Deata, bertugas sebagai pelindung manusia di dunia; dewa pada tingkat ketiga yaitu To Membali Puang, bertugas sebagai pengawas kehidupan manusia di dunia.

Pada dasarnya ketiga dewa tersebut adalah satu yaitu arwah leluhur, yang membedakannya adalah stratifikasi dari arwah leluhur tersebut, yaitu: Puang Matua, adalah pencipta dan sekaligus sebagai asal atau nenek moyang manusia yang pertama; Deata-Deata, dapat dicapai oleh arwah leluhur yang merupakan keturunan langsung dari dewa-dewa (To Manurun), yaitu golongan masyarakat bangsawan tinggi yang berasal dari Tanak Bulaan; To Membali Puang, dapat dicapai oleh golongan masyarakat yang berasal dari Tanak Bassi dan Tanak Karurung (Yusuf, dkk, 1993: 32). Arwah leluhur lainnya yang berasal dari tanak kua-kua atau lapisan sosial tinggi yang tidak mampu melaksanakan upacara kematian sesuai dengan aturan adat, menjadi gentayangan pada alam antara alam fana (lino) dengan alam baka (puya), disebut Bombo. Bombo tidak dipuja karena belum menjadi dewa, oleh karena itu dianggap sebagai roh-roh leluhur yang membahayakan kehidupan manusia. Untuk itu manusia harus berlindung dan meminta pertolongan kepada dewa-dewa.

3.7. Kesenian
kesenian tradisional toraja
Tana Toraja memiliki kesenian yang telah mendarah daging turun temurun pada masyarakatnya. Berbagai macam obyek yang menarik baik secara langsung diciptakan-Nya maupun secara sengaja dibuat oleh orang-orang yang memilki cita rasa dibidang seni yang tinggi tentang budayanya sendiri
Tana Toraja mempunyai tari-tarian yang disesuaikan dengan upacara-upacara. Tarian yang diperlihatkan pada upacara kematian tentu berbeda pada upacara syukur atau gembira. Maksud tarian ini dihubungkan dengan (Dewatanya) yang berarti berdoa. Selama menari orang biasanya menyanyi. Maksud nyanyian tersebut ialah mengatakan pesta apa yang diadakan, lagunya hampir sama saja dan memberi pengertian pesta yang dibuat. Tari-tarian dan seni musik yang ada di Toraja yaitu :
• Tari Pa’gellu
Merupakan salah satu tarian tradisional dari Tana Toraja yang dipentaskan pada acara pesta “Rambu Tuka”. Tarian ini juga dapat ditampilkan untuk menyambut patriot atau pahlawan yang kembali dari medan perang dengan membawa kegembiraan.
• Tarian Ma’badong
Tari ini hanya diadakan pada upacara kematian ini bergerak dengan gerakan langkah yang silih berganti sambil melantunkan lagu ( Kadong Badong ) yang syairnya berisikan riwayat manusia mulai dari lahir hingga mati, agar arwah yang telah meninggal dapat diterima di negeri arwah ( Puya ) atau alam dialam baka.
• Musik Passuling
Passuling diperagakan dengan menggunakan suling lembang yaitu suling tradisional Toraja dan dimainkan oleh laki-laki untuk mengiringi lantunan lagu duka dalam menyambut keluarga atau kerabat yang menyatakan duka citanya.
• Musik Pa’pompang
Musik bambu yang pagelarannya merupakan satu simponi orkestra, dimainkan oleh banyak orang. Musik bambu ini biasanya dimainkan pada perayaan bersejarah.
• Musik Pa’karobi
Alat kecil dengan benang halus diletakkan pada bibir. Benang atau bibir disentak-sentak sehingga menimbulkan bunyi yang berirama halus namun mengasyikkan.
• Musik Pa’geso-geso
Sejenis alat musik gesek yang terbuat dari kayu dan tempurung kelapa yang diberi dawai. Dawai yang digesek dengan alat khusus yang terbuat dari bilah bambu dan tali akan menimbulkan suara yang khas.
Diwilayah Toraja terdapat upacara adat yang terkenal dan tidak ada duanya didunia, yakni upacara Rambu Solo dan Rambu Tuka, upacara-upacara adat tersebutlah yang diikuti oleh seni tari dan seni musik khas Toraja yang bermacam-macam ragamnya
Upacara adat Rambu Tuka
Upacara ini yaitu acara untuk memasuki rumah adat yang baru atau Tongkonan yang selesai direnovasi dan waktunya sekali dalam 50 atau 60 tahun. Biasanya diiringi tarian Pa’Gellu dan seni musik Pa’pompang.
Upacara adat Rambu Solo
Upacara ini dilakukan untuk memakamkan leluhur atau orang tua. Bila ada salah satu warga (orang tua atau leluhur ) yang meninggal orang-orang berbaris pergi kerumah orang tersebut mengikuti dibelakang mereka hewan ternak untuk dipersembahkan pada tuan rumah dan tuan rumah pun menyambut dengan ramah dan diiringi oleh tari-tarian dan beraneka ragam santapan yang telah dipersiapkan diatas daun pisang
Namun dalam Pelaksanaannya upacara ini terbagi menjadi empat tingkatan yang mengacu pada strata sosial masyarakat Toraja, yakni :
1. Dipasang Bongi : Upacara yang hanya dilaksanakan dalam satu malam
2. Dipatallung Bongi : Upacara yang berlangsung selama tiga malam dan dilaksanakan dirumah dan ada pemotongan hewan
3. Dipalimang Bongi : Upacara pemakaman yang berlangsung selama lima malam dan dilaksanakan disekitar rumah serta pemotongan hewan
4. Dipapitung Bongi : Upacara pemakaman yang berlangsung selama tujuh malam setiap harinya ada pemotongan hewan
Pemakaman kematian bagi masyarakat Toraja menjadi salah satu hal yang paling bermakna, sehingga tidak hanya upacara prosesi pemakaman yang dipersiapkan ataupun peti mati yang dipahat menyerupai hewan ( Erong ), namun mereka juga mempersiapkan tempat “peristirahatan terakhir” dengan sedemikian apiknya, yang tentunya tidak lepas dari strata yang berlaku dalam masyarakat Toraja maupun ekonomi individu
Pada umunya tempat menyimpan jenazah adalah gua atau tebing gunung atau dibuatkan sebuah rumah ( Pa’tane ). Budaya ini telah diwarisi secara turun temurun oleh leluhur mereka, adat masyarakat Toraja menyimpan jenazah pada liang gua atau tebing merupakan kekayaan budaya yang begitu menarik untuk disimak lebih dalam lagi, Dapat dijumpai puluhan Erong yang berderet dalam bebatuan yang telah dilubangi, tengkorak berserak disisi batu menandakan petinya telah rusak akibat di makan usia
Sampai saat ini masyarakat dunia masih dapat menikmati turunan-turunan budaya yang diwariskan nenek moyang suku Toraja ini, seperti bentuk-bentuk kebudayaan atau kesenian dari yang bersifat upacara kematian sampai tari-tarian serta musik-musik khas Toraja. Warisan ini tentunya menjadi sorotan perhatian dan tanggung jawab bagi masyarakat suku Toraja saat ini, terutama dengan adanya globalisasi ataupun modernisasi, ketidaksiapan melangkah dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut tentunya dapat mempertaruhkan kelestarian alam, budaya Toraja dan juga kualitas SDM Toraja itu sendiri. Sehingga dapat mempengaruhi perubahan sosial dan perubahan kebudayaan yang ada di Toraja.
Oleh karena itu Toraja mengadakan program Toraja Mamali yaitu program spontanitas seluruh lapisan masyarakat Toraja, baik yang tinggal di Toraja maupun diluar Toraja yang peduli terhadap kampung halaman, untuk bersama-sama menyatukan visi dan misi demi membangun Tana Toraja atas dasar tanggung jawab dan komitmen bersama. Tekad yang diusung adalah untuk menjadi Toraja unggul dalam :
1. Perkataaan ( berani dan penuh percaya diri )
2. Penguasaan ilmu dan teknologi ( cerdas dan terampil )
3. Penebaran kasih ( saling hormat dan mengasihi )
4. Pariwisata ( budaya dan alam )
Toraja mamali dicanangkan sebagai program kerja lima tahun (2006 – 2010) dimana akan diwujudkan melalui konsep program kerja yang konkrit dan nyata khususnya akan diarahkan kepada bidang pendidikan, pertanian dan pariwisata.

BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Daerah Tana Toraja umumnya merupakan tanah pegunungan kapur dan batu alam, diselingi dengan ladang dan hutan, dilembahnya terdapat hamparan persawahan.
Latar belakang arsitektur rumah tradisional Toraja menyangkut falsafah kehidupan yang merupakan landasan dari perkembangan kebudayaan Toraja. Selain itu , tanah toraja juga masih menggunakan adat istiadat yang ada . dengan penggunanaan bahasa serta keunikan dari sisi kebudayaan . dengan begitu masyarakat toraja dapat melestarikan kebudayaan suku Toraja juga .

4.2. Saran
dengan adanya banyak suku di Indonesia maka seharusnya kita sebagai masyarakat indonesia ikut melestarikan kebudayaan serta adt istiadat yang ada termasuk Tana Toraja . oleh karena masyarakat toraja juga harus menjaga agar segala yang ada di Tana Toraja tidak punah dan tetap terjaga serta di minati oleh banyak pihak .
back to top?
monthly archive

April 2010
recent entries

Masalah kebudayaan nasional dalam perspektif Global New Ego dan Old Ego memilih refleksi dibanding reaksi Professional Studies - Pidato Writing & Reporting coursework Pernikahan beda agama kode etik jurnalistik baby throwing in India
LAYOUT BANNER COLORS MINIICONS